Kamis, 23 Oktober 2014

Membuktikan Kebenaran Ayat Riba

Krisis Bank Summa, yang pernah melanda dunia perbankan Indonesia, mengakibatkan kecemasan dan kegelisahan bukan hanya nasabah kecil – sebelum adanya kesediaan pihak Bank membayar mereka – tetapi boleh jadi juga nasabah besar. Hanya saja yang disebut terakhir ini pandai atau terpaksa menyembunyikannya.


Ada sebagian agamawan yang ingin membuktikan kebenaran firman Allah melalui krisis dan kegusaran itu. Mereka menunjuk pada firman-Nya Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah, dan bahwa orang-orang yang melakukan aktivitas atas dasar riba hatinya tidak tenteram, gusar tak tahu arah, bagai orang yang kesurupan setan (begitu makna QS 2: 275-276). Saya tidak sedikit pun ragu akan kebenaran ayat-ayat tersebut, dan tidak pula seseorang apat mengingkari adanya kegelisahan dan kerugian yang boleh jadi  “memusnahkan” bank Summa. Namun, saya enggan menjadikan kasus ini sebagai bukti kebenaran ayat-ayat itu.

Terlepas dari silang-pendapat tentang substansi riba dan praktik perbankan konvensional, namun agaknya semua sependapat bahwa “kerugian juga dapat terjadi pada perniagaan halal bila salah urus, dan keuntungan melimpah dapat diraih melalui usaha haram yang rapi”. Ini tentunya “untung-rugi” dalam kacamata ekonomi. Agama berpandangan lebih luas. Marilah kita hayati dialog berikut ini:
                            
“Sudahkah engkau membagikan kambing yang baru disembelih itu?” tanya Nabi kepada Aisyah, istrinya.

“Semua telah habis kubagikan, yang tinggal hanya pahanya untuk kita makan bersama,” jawab Aisyah.

Nabi kemudian meluruskan pandangan Aisyah: ”Tidak! Yang tinggal adalah apa yang engkau bagikan itu, dan yang habis adalah paha kambing yang engkau tinggalkan.”

Dalam bahasa inilah ulama tafsir memahami arti “memusnahkan riba” bukan dalam arti membinasakannya atau menjadikan pemiliknya merugi menurut ukuran pasar. Jelasnya, “memusnahkan” dalam arti menghilangkan berkahnya, walaupun kuantitasnya terlihat banyak. Kekayaan dalam pandangan agama bagaikan kemampuan membentuk lingkaran utuh, sehingga menjadi 360 derajat, walaupun lingkaran tersebut kecil, karena ketika itu hati telah bulat dan tidak gusar lagi. Kegusaran yang dimaksudkan oleh ayat riba di atas juga dipahami dalam bahas agama ini. Karena siapa sih yang tidak gusar bila yang dicintainya terancam hilang atau musnah?

Dalam pandangan agama, harta dan anak adalah hiasan hidup serta andalan meraih harapan masa depan (QS 18: 46). Karena itu, tidak ada larangan bagi orang-orang yang berusaha memperoleh harta atau mencintai anak. Agama hanya mengingatkan bahwa keduanya dapat juga menjadi sumber kegelisahan dan malapetaka – baik yang halal, apalagi yang haram. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh kecintaan yang berlebihan. Memang, semakin besar kecintaan seseorang, semakin parah pula kegusarannya bila kecintaannya terancam.

Kalau demikian, wajar jika agama menekankan perlunya kestabilan emosi dan moderasi dalam cinta. Bila cinta melampaui batas, sehingga nilai-nilai agama dikorbankan, maka tunggulah keruntuhan bangunan masyarakat dan terhentinya gerak sejarah (QS 9: 24).

Keresahan dan kehilangan arah yang ditunjuk oleh ayat riba yang disebut di awal tulisan ini, bukannya terjadi di dunia ini, tetapi akan terjadi di akhirat nanti. Kalau demikian halnya, tidak wajar dibuktikan kebenarannya melalui kasus Bank Summa.

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 334-336
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...