Senin, 24 Juni 2013

Kalimat Syahadat dan Lingkungan Hidup

Kalimat Syahadat (pengakuan akan keesaan Allah) diibaratkan oleh Al-Qur’an sebagai satu pohon yang akarnya teguh, cabangnya menjulang ke langit dan menghasilkan setiap saat buah yang banyak lagi lezat (baca QS 14:24). Pengakuan ini, di samping harus dibenarkan oleh hati, juga harus diucapkan agar diketahui oleh pihak lain. Atas dasar ucapan tersebutlah si pengucap memperoleh hak dan kewajibannya sebagai Muslim.

Dengan syahadat, seorang Muslim, paling tidak, mengakui keberadaan tiga pihak, yaitu Allah dengan segala sifat-Nya yang Mahasempurna, si pengucap yang mennyadari kelemahannya di hadapan Allah, dan pihak lain yang mendengar atau mengetahui itu. Tentu, sungguh berbeda sikap seseorang yang hanya menyadari keberadaan dirinya dengan mereka yang menyadari bahwa ia adalah makhluk lemah di hadapan Allah dan makhluk sosial yang membutuhkan pihak-pihak lain dalam lingkungannya sehingga harus selalu mnyesuaikan diri dengan lingkungan itu. Inilah kaitan pertama antara syahadat dan lingkungan (terbatas).

Disisi lain, seperti bunyi ayat di atas bahwa pengakuan akan keesaan Allah melahirkan sekian banyak buah. Salah satunnya adalah keyakinan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan milik-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadarai bahwa ada persamaan antara dirinya dengan makhluk lain. Semua adalah umat Tuhan; “burung-burung pun adalah umat seperti halnya manusia” (lihat QS 6:38). Pohon- pohon harus dipelihara, jangankan dalam masa damai, dalam masa perang pun terlarang menebangnnnya kecuali seizing Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan. Bahwa semua adalah milik Allah, mengantarkan manusia untuk menyadari bahwa apa yang berada dalam genggaman tangan-Nya atau jangkauan kemampuan-Nya tidak lain kecuali amanah, sehingga “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap tetes hujan yang tercurah dari langit, setiap nikmat yang dianugerahkan Allah akan diminta untuk dipertanggungjawabkan.” Demikian kandungan penjelasan Nabi tentang ayat kedelapan surah Al-Takatsur. Dengan demikian, manusia bukan saja dituntut agar tidak alpa atau angkuh terhadap ciptaan Tuhan , tetapi juga dituntut untuk memperhatikan apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Pemilik (Allah) menyangkut ciptaan itu.

Apakah tujuan sang Pencipta menciptakan makhluk tersebut? Itu sebabnya, dalam etika agama,  dilarang memetik bunga sebelum berkembang. Dilarang menggunakan air berlebihan. Pemborosan harus dicegah walaupun dalam kebaikan. “Paling banyak membasuh anggota wudhu masing-masing adalah sebanyak tiga kali, meskipun Anda berwudhu di sungai yang mengalir,” demikian pesan Nabi saw.

Manusia Muslim dituntut membagi-bagikan rahmat kepada seluruh alam – alam adalah segala sesuatu selain Tuhan. Ini berarti bahwa ia harus bersahabat dengan alam dan harus memberi kesempatan untuk mencapai tujuan penciptaanya. Ia harus pula menghormati proses-proses yang tumbuh dan dituntut untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, kelompok atau bahkan jenisnya, tetapi segala sesuatu yang ada di alam raya ini.

Demikian selayang pandang tergambar, betapa kalimat syahadat mengantarkan manusia menghormati keberadaan pihak lain, serta memelihara lingkungannya.[]

Lentera Hati: M. Quraish Shihab
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...