Senin, 11 Januari 2016

Makna Shalat Istisqa'

Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya mereka akan melaksanakan shalat Istisqa' (bermohon agar Allah menurunkan hujan). Mengapa shalat? Bukankah turunnya berkaitan dengan hukum alam? Benar, Al-Quran juga menjelaskan demikian. Ada kaitan antara angin, awan dan hujan.

Marilah kita pahami penjelasan Allah berikut: Kami tiupkan angin untuk mengawinkan (partikel-partikel awan yang mengandung air) sehingga Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami memberimu minum dari air itu dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya (QS 15: 22). Kata "mengawinkan" mengisyaratkan bahwa ada dua partikel awan yang berbeda -- positif dan negatif -- yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan air.

Pada surah yang lain dinyatakan: Tidakkah kau tahu bahwa Allah mengarak (dengan perlahan partikel-partikel) awan, kemudian digabungkannya (partikel-partikel itu masing-masing), setelah itu dijadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya (QS 24: 43).

Kita setujui pandangan ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum-hukum alam yang berkaitan dengannya. Bukan saja karena demikian jugalah informasi Al-Quran seperti terbaca di atas. Hanya saja kita tidak berhenti di sana, tetapi kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum-hukum alam itu. Dan tidak sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu (QS 15: 21).

Hujan memang ada sebabnya berdasarkan hukum alam yang dijelaskan di atas. Tetapi apakah "sebab" yang membuat turunnya hujan? "Sebab" mendahului akibat atau berbarengan dengannya, tetapi bukan sebab yang mewujudkan akibat. Sederetan keberatan ilmiah dan filosofis menghadang peran "sebab" yang demikian besar. Karenanya, para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam ada satu kekuatan yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui -- Allah Al-Aziz Al-Hakim dalam bahasa Al-Qurannya. Hukum-hukum alam, kata ilmuwan, tidak lain keculai "ikhtisar dari pukul rata statistik".

Yang mewujudkan sebab adalah yang mengatur sistem kerja alam, yang belum dan tidak akan mati. Dia selalu awas, terjaga, tidak disentuh oleh kantuk (QS 2: 255). Kepadanya bermohon penghuni langit dan bumi; setiap saat Dia sibuk (QS 55: 29).

Wujudnya yang mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak boleh mengantarkan manusia mengabaikan shalat dan doa. Karena keberlakuan hukum alam itu tidak mengakibatkan terbebasnya Tuhan dari perbuatan dan kebijaksanaan-Nya. Apakah Anda menduga Allah seperti pabrik yang memproduksi "jam", kemudian membiarkan produk (jam)-nya itu berjalan secara otomatis? Sekali-kali jangan! Ada sunnatullah (hukum-hukum-Nya yang menyangkut alam raya) dan ada pula inayatullah (pertolongan-Nya yang tidak kalah dari sunnah-Nya). Ini diberlakukan-Nya terhadap mereka yang benar-benar berdoa kepada-Nya.

Kalau shalat dinilai sebagai salah satu sarana pendidikan kejiwaan, mengapa yang menentangnya tidak menduga bahwa shalat pun dapat merupakan sebab untuk terjadinya beberapa kejadian, sebagaimana sebab yang lain?[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 164-166.
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...