Jumat, 01 Mei 2015

Hakikat Pengabdian

Kata "abdi" terambil dari kata 'abd yang mengandung paling tidak tiga arti, yaitu tumbuhan yang memiliki aroma yang harum, anak panah, dan sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya). Seorang abdi seharusnya menggambarkan ketiga hal di atas: dia memberi aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan anak panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik atau kepada siapa ia mengabdi.

Unwân seorang tua berusia 94 tahun yang tinggal di Madinah pada pertengahan abad ke-8 M dan yang sangat gandrung belajar, suatu ketika mendatangi Ja'far Al-Shadiq (702-765 M) dan bertanya kepadanya: "Apakah hakikat pengabdian itu?"

Kemudian Ja'far Al-Shadiq menjawab: "Ada tiga macam. Pertama, seorang abdi tidak menganggap apa yang berada di bawah genggaman tangan atau wewenangnya sebagai milik pribadi, karena yang dinamai abdi (hamba) tidak memiliki sesuatu. Dirinya pun adalah milik tuannya. Kedua, dia juga harus menjadikan segala aktivitasnya berkisar pada apa yang diperintahkan, atau menjauhi apa yang dilarang oleh tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun kecuali setelah ada izin dari yang diabdi."

Apabila seseorang tidak menganggap apa yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun. Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada apa yang diperintahkan kepadanya tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia: tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak untuk memperbanyak harta demi kemegahan.

Bila seseorang tidak memastikan sesuatu kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati. Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif bagi dirinya. Kepada siapa pun seseorang mengabdi---kepada Tuhan, negara, atau mungkin seorang manusia---ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi demi kesempurnaan pengabdian.

Pernyataan seorang Muslim di saat shalat, "hanya kepada-Mu kami mengabdi", mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa ia tidak lain kecuali hamba sahaya yang dimiliki-Nya. Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus-menerus dalam benak si pengabdi. Bukankah ketika Anda berkata "rumah" maka yang terbayang hanya bentuk "rumah"; dan ketika Anda berkata "rumah si A" maka yang hadir dalam benak adalah "rumah beserta si A", pemiliknya itu? Kehadiran inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas. Sungguh begitu dalam arti pengabdian. Agaknya banyak di antara kita belum menghayati benar arti ikrarnya sebagai abdi Tuhan atau sebagai abdi negara.[]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 378-380
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...