Senin, 24 Oktober 2011

Wow! Ada 112 Cara Berbeda dalam Mengeja Nama Muammar Qaddafi

Selain Kolonel Sanders, kolonel ini paling ternama di dunia. Sang kolonel dari Libya ini mempunyai amat banyak varian nama (yang jumlahnya jauh melebihi varian sajian menu di restoran Kolonel Sanders).

Amat mengejutkan, ABC News mendaftar 112 cara berbeda dalam mengeja nama diktator Afrika Utara yang kini terlunta-lunta itu. Sebagai contoh, dia disebut Muammar Gaddafi, Moammer Qathafi, Omar al Ghaddafi, Moammar Kaddafi, Moamer El Kazzafi, bahkan ada nama panjang Mulazim Awwal Mu’ammar Muhammad Abu Minyar al-Qadhafi. Situs Interpol memilih nama Muammar Mohammed Abu Minyar Gaddafi. Memang tak ada kesepakatan bagaimana menuliskan namanya.


Biasanya ejaan nama menjadi hak prerogatif (“terserah aku”) pemiliknya. Sekalipun salah eja menurut polisi bahasa, orang tidak bisa “membetulkannya”. Nama Edward Soeryadjaya yang legendaris bisa menjadi contoh. Ada beberapa varian ejaan lama (oe, dj) dan baru (y) yang ada di sana. Tapi apa mau dikata? Pemiliknya menyebut dirinya begitu.

Yang “membebaskan” orang dari penulisan nama sesuai dengan kehendak pemiliknya adalah apabila ada perbedaan huruf. Varian penulisan nama pemimpin Libya yang luar biasa banyak itu karena namanya diterjemahkan dari huruf Arab ke huruf Latin. Dalam bahasa Arab, jelas penulisannya standar (ditulis dari kanan), yakni mim م, ain ع, mim م, ra ر, alif ا, lam ل, khof ق, alif ا, dzal ذ, fa ف, dan ya ي. Sedangkan pelafalan dari bahasa Arab cenderung ke Mu’ammar Al Qodzafiy (ini bisa jadi varian ke-113 dalam daftar ABC News, karena belum ada yang menyebut begini).

Media di Indonesia juga tidak seragam dalam menuliskan nama diktator Libya itu. Sebagai contoh Muammar Qadhafi jadi ejaan di Tempo, Moammar Kadhafi (Jawa Pos, sama dengan VIVAnews dan Okezone), Moammar Kadhafy (Kompas), Muammar Gaddafi (Media Indonesia), Moammar Gaddafi (detikcom), dan Moamar Kadhafi (Antara). Karena banyaknya penyebutan nama, para redaktur punya “hak prerogatif” untuk menyepakati ejaan nama yang dipakai.

Tak jadi masalah beragam. Untuk penulisan pemimpin Arab lain, mestinya kita juga punya kebebasan interpretasi. Misalnya dalam menuliskan nama pemimpin Tunisia yang baru saja terguling. Media-media di Indonesia menuliskannya sesuai dengan interpretasi bahasa Prancis atas namanya, yakni Zine El Abidine Ben Ali. Untuk telinga Indonesia, mestinya lebih akrab kalau disebut Zainal Abidin Bin Ali. Interpretasi bahasa Prancis atas nama seseorang baru tidak bisa dilakukan kalau si empunya nama menyebut dirinya begitu. Misalnya Zinedine Zidane. Kita tak bisa semena-mena menyebutnya menjadi Zainuddin Zidan.

Tak hanya huruf Arab, huruf non-Latin lainnya juga mengalami interpretasi saat diserap ke dalam bahasa kita. Nama dalam huruf Cina juga mengalami interpretasi, meski variannya lebih sedikit. Misal ada yang menyebut Deng Xiao Ping atau Teng Xiao Peng, Mao Zedong atau Mao Tse Tung, Zhou Enlai atau Chou En Lai, Taipeh atau Taipei, serta Macau atau Makau.

Ada juga penulisan nama Cina yang mengalami perubahan “kesepakatan” di Indonesia. Pada masa lalu, kita menyebut ibu kota Republik Rakyat Cina dengan Peking. Ada ungkapan terkenal Jakarta-Hanoi-Peking. Kini kita menyebutnya Beijing dan sebutan Peking ditinggalkan. Anehnya, sebutan Peking tinggal tersisa pada menu kuliner bebek peking. Entah sampai kapan bebek peking bisa bertahan untuk tidak menjadi bebek beijing.

Dalam penamaan tempat, ada yang bisa diindonesiakan, ada yang tidak. Nama negara jelas bisa diindonesiakan, misalnya Jepang, Cina, Belanda, Inggris, Prancis, atau Jerman. Yang unik, bahkan negara pemilik nama kadang harus ikut ejaan si orang asing. Misal, di Perserikatan Bangsa-Bangsa, delegasi Cina tidak ngotot menyebut dirinya dari Zhongguo (baca: chungkuok, yang menjadi kata Tiongkok), dia tetap nyaman dengan sebutan People Republic of China (versi Inggris). Begitu pula Jepang, tak memaksa menyebut dirinya Nippon atau Nihon, tapi menerima saja disebut Japan. Yang agak ngeyel adalah tetangga kita; dia menyebut dirinya Myanmar di PBB, meskipun Barat tetap menyebutnya Burma.

Yang agak sulit diinterpretasikan adalah nama di bawah level negara. Di sini mulai timbul silang pendapat alias khilafiyah. Kita bisa melihat penulisan kota-kota terkenal. Kita mengikuti ejaan asli Belanda untuk menulis Den Haag, bukan The Hague versi Inggris. Kita juga mengikuti penulisan ala Jerman untuk Koln (minus tanda umlaut atau dua titik di atas “o”), bukan Cologne. Untuk menyebut Venezia, kita mengikuti ejaan asli Italia, bukan Venice. Kita menulis Luzern, bukan Lucerne. Praha (bahasa Czech), bukan Prague. Kita menyebut Bern (Jerman), bukan Berne. Untuk Paris, kita eja begitu juga, meski sebutan cara Belanda, yakni Parijs (dalam Parijs van Java), tetap kita banggakan. Kita menulis Paris dan membacanya persis seperti tulisannya (pa-ris), bukan seperti cara orang Prancis membaca, yang terdengar seperti paa-qi.

Tapi kita tidak selalu ”taat” mengeja seperti ejaan asli negara setempat. Kota Wean (dalam bahasa setempat, Austria-Hamburg) mungkin tak dikenal, tapi orang mengenal Kota Wien (Jerman), Vienne (Prancis), Vienna (Inggris), dan kita menyebut dengan ejaan sendiri, Wina. Yang mirip ini adalah kreasi kita untuk menyebut Jenewa. Padahal sebutan asli Prancisnya adalah Geneve, dan versi Inggrisnya Geneva.
Begitulah, menginterpretasikan nama asing ke dalam bahasa kita ada kejutan-kejutan sendiri. Kadang taat alur logika, kadang berdasarkan konsensus yang terbentuk dari pemakaian terus-menerus sehari-hari.
Majalah Tempo, 26 Sep 2011. Rohman Budijanto, Wartawan
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...