Senin, 22 Agustus 2011

MENUNGGU SAAT BERBUKA

Berbuka puasa adalah kenikmatan yang seharian kita tunggu, selain kenikmatan-kenikmatan lain yang puasa janjikan. Menunggu beduk Maghrib ditabuh, ada saja yang bisa kita nikmati. Selesai shalat Dhuhur, kita menyambungnya dengan tidur siang di bawah pilar masjid. Tengkurap di lantai marmer yang dingin, pintu-pintu yang terbuka lebar-lebar, angin yang menelusupkan kesejukan adalah detail-detail yang sanggup menyempurnakan kenikmatan kita selama proses menunggu itu. Selama Ramadan, di mana-mana kita jumpai para pekerja kantor dengan dasi dan pakaian rapi tertidur ngowos berserakan, bahkan hingga ke teras-teras masjid.

Sebagian di antara kita mungkin lebih memilih membolak-balik majalah, baca-baca artikel kerohanian, dengarkan musik lewat iPod, atau sekadar jalan-jalan di lorong mal. Atau, tetap bekerja seperti biasanya tapi dengan harapan akan janji dan tujuan ganda. Tujuan pertama tentu menyelesaikan pekerjaan itu sendiri dan kedua, melewati siang yang panas guna menyambut senja dan datangnya saat berbuka. Buah yang telah diiris dan didinginkan di almari es sejak pagi, nasi dengan lauk lengkap dan aneka sayuran, es cendol, ah... Humor tentang menunggu buka puasa yang kurang lucu dan gagal memancing tawa kita adalah "sambil menunggu saatnya berbuka puasa, mari kita ngobrol santai sambil merokok dan minum kopi..." Anekdot itu kurang jelas kapan munculnya dan siapa penciptanya. Tapi, agaknya, anekdot itu memang terlahir dari orang yang tidak tahan ujian dahaga dan apatis terhadap manfaat puasa.

Menunggu saat berbuka, saya paling suka melamun. Melamun adalah hobi yang bagi saya sangat kreatif dan cenderung futuristis. Sepanjang yang dilamunkan adalah hal-hal baik. Sangat gampang dikerjakan, tidak menguras energi, tak perlu properti apa-apa, dan yang pasti tidak perlu keluar duit.

Ngabuburit dengan cara jalan-jalan ke mal adalah sesuatu yang sarat risiko. Potensial berpapasan dengan lawan jenis yang bajunya berbelahan dada lebar, jins skinny dengan model pinggang yang begitu rendah hingga kelihatan bokong sekaligus celana dalamnya, sungguh godaan yang tidak main-main di era sekarang ini. Sukses menahan lapar tapi bisa gagal total mengendalikan mata. Godaan lain adalah belanja. Selama Ramadhan, semua outlet menawarkan berbagai potongan harga. "Obral Gila-gilaan, Lebaran Sale, dan diskon Up to 80 % adalah provokasi marketing yang sanggup mengubah niat sekadar jalan-jalan menjadi acara belanja-belanja.

Alasan paling mendasar kenapa saya memilih melamun ketimbang lainnya adalah bakat saya memang melamun. Apa saja bisa saya bayangkan dengan begitu leluasanya dalam konteks seandainya. Apa yang saya jalani sekarang pun sebenarnya tak lain adalah wujud dari apa yang dulu saya lamunkan.

Nah, satu hal yang paling mengganggu hobi melamun saya adalah utang. Meski dulu jauh lebih nestapa, melamun bisa saya jalani jauh lebih sempurna ketimbang sekarang. Sebab, dulu saya tak didera utang yang begitu mengganggu. Ada yang bilang bahwa hidup kurang bersemangat bila tanpa utang. Filosofi itu sebenarnya tidak berlaku untuk diri saya. Rutinitas membayar utang di bank bukanlah spirit hidup saya. Jangankan datang ke bank dan menyerahkan sejumlah uang untuk membayar utang tiap bulan, melihat gedung bank yang tinggi megah di pinggir jalan pun, rasanya, seperti melihat dinosaurus! Binatang kacau bersisik kasar yang setiap bulan rajin menagih uang angsuran kepada saya. Setiap kali teringat akan utang, acara melamun saya menjadi porak-poranda seketika.


***

Saya juga sering melamun untuk bertanya, mengapa kita punya utang? Mengapa kita semua terjerat utang? Kenapa utang kita begitu banyak? Apakah mungkin kita menjadi manusia yang hidup bebas dari utang? Boleh punya utang, tapi mbok yang wajar-ajar saja dan untuk membayarnya tak perlu harus merusak lamunan. Di antara sekian jenis utang yang kita punya, ada satu yang sangat mengganggu pikiran saya, yaitu utang turunan. Sungguh aneh, di negeri yang selalu dikampanyekan subur makmur gemah ripah loh jinawi ini, ternyata rakyatnya pengidap utang yang akut dan kronis. Kita punya utang luar negeri yang tak bisa lunas oleh satu atau dua generasi.

Mau tahu jumlah utang luar negeri kita sekarang? Tanya Mbah Google, sana! Entah segede apa tumpukan utang itu jika dirupakan dalam bentuk uang pecahan sepuluh ribuan. Sementara untuk membuat jembatan antarpulau seperti Suramadu, yang legendaris karena tak rampung-rampung itu, kita hanya perlu dana Rp 3 triliun saja.

Siapa yang bakal membayar utang ribuan triliun itu? Tentu kita. Saya, Anda, anak Anda, anak saya, cucu Anda, cucu saya, cicit Anda, dan seterusnya. Secara turun-temurun, mereka akan terlahir sebagai manusia Indonesia yang terbelit utang.

Kita adalah penggemar utang yang parah dan pecandu berbagai subsidi. Contoh paling sederhana tentang hal itu adalah harga BBM. Begitu parahnya tingkat kecanduan kita terhadap subsidi harga BBM, kita tak pernah mau tahu bahwa harga BBM di negeri ini murah karena ditambal pakai duit yang didapat dengan cara mengutang ke negara lain. Harga BBM kita memang jauh lebih murah dibandingkan negara lain, tapi harga yang kita punya adalah harga palsu. Harga bohong-bohongan. Sejak zaman Orba, kita telah dikelabui dengan cara-cara itu. Rakyat dibuai dengan harga yang tidak realistis dan seolah-olah murah. Setelah Orde Baru ambruk, tak satu pun presiden kita punya nyali untuk membawa rakyatnya pada kenyataan harga BBM yang sebenarnya. Sebab, rakyat telah terbiasa dengan harga BBM yang seolah-olah murah. "Kalau BBM dinaikkan, presidennya harus kita turunkan!" ancam rakyat berapi-api.

Setiap kali harga minyak dunia melonjak, pemerintah pasti akan kalang kabut menambal subsidi agar di tingkat rakyat tak terjadi kenaikan harga BBM. Menghadapi situasi sulit seperti ini, SBY -juga Habibie, Mega, maupun Gus Dur- selalu meniru cara Pak Harto. Yaitu, memakai duit pinjaman untuk menambal subsidi harga BBM agar tidak didamprat rakyatnya.

Kita, sebagai rakyat, ternyata lebih memilih hidup dengan cara terus dicekoki subsidi ketimbang berusaha mandiri. Mobil mewah punya banyak, tapi bensinnya minta disubsidi. Kita seperti kehilangan konsep puasa. Kesanggupan untuk hidup menderita sementara demi kenikmatan berikutnya.

Sebagai rakyat, kita telah mengaburkan makna "menahan lapar" yang sesungguhnya. Hingga, anak cucu kita terancam lapar berkepanjangan karena lilitan utang ribuan triliun dan tak tahu kapan bakal datang saat berbuka.

Oleh: Leak Koestiya (leak@jawapos.co.id)
.....TERBARU.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...